Page 77 - Al Ashri edisi 43
P. 77
KISAH
Dur
Durhakahaka
ahabat Umar bin Khattab radhilyallahu ‘anu,
Amirul Mukminin banyak menyimpan kisah.
SPenanggalan tahun Islam (hijriyah) yang kemarin
baru kita masuki ke tahun 1437 H adalah warisannya
yang gemilang. Penaklukkan Al-Quds (Palestina)
dan penaklukkan Persia pada masa kekhalifahannya,
adalah catatan keberhasilannya yang lain.
Ada banyak kisah milik beliau yang tercecer nyaris
terlupakan, seperti kisah perdebatan seorang anak dan
ayahnya soal kedurhakaan di hadapan beliau. Kisah
ini jarang didengar di majlis-majlis sirah, di kelas-
kelas sejarah, apalagi di warung-warung kopi.
Alkisah, pernah suatu ketika ada seorang bapak
yang mengeluh kepada Amirul Mukminin, Umar bin
Khaththab radhiyallaahu ‘anhu mengenai anaknya
yang durhaka. Orang itu mengatakan bahwa putranya
selalu berkata kasar kepadanya dan sering kali walau seayat.”
memukulnya. Maka, Umar pun memanggil anak itu Maka Umar radhiyallaahu ‘anhu menoleh kepada
dan memarahinya. ayah anak itu dan berkata:
“Celaka Engkau! Tidakkah Engkau tahu bahwa “Engkau telah durhaka kepada anakmu sebelum ia
durhaka kepada orang tua adalah dosa besar yang durhaka kepadamu. Pergilah Engkau dari sini.”
mengundang murka Allah?” kata Umar. ***
“Tunggu dulu, wahai Amirul Mukminin. Jangan Selama ini, setiap kata durhaka terdengar atau
tergesa-gesa mengadiliku. Jikalau memang seorang terlintas di benak, yang terbayang adalah ‘anak
ayah memiliki hak terhadap anaknya, bukankah si durhaka’. Namun melalui lisan Umar bin Khattab
anak juga punya hak terhadap ayahnya?” tanya si radhiyallaahu ‘anhu, tahulah kita bahwa kedurhakaan
anak. bisa saja dilakukan oleh seorang ayah atau seorang
“Benar,” jawab Umar. guru sekalipun.
“Lantas, apakah hak anak terhadap ayahnya?” Kisah di atas memberi kesan sangat kuat bahwa
lanjut si Anak. sikap durhaka seorang anak sangat dimungkinkan
“Ada tiga,” jawab Umar. “Pertama, hendaklah ia akibat sikap durhaka orang tua pada anaknya lebih
memilih calon ibu yang baik untuk putranya, jangan dahulu. Dalam kisah ini, seorang ayah dianggap
sampai tercela karena ibunya. Kedua, hendaklah ia durhaka karena tidak memberikan pengalaman hidup
menamainya dengan nama yang baik. Dan ketiga, yang baik bahkan menyakitkan kepada anaknya.
hendaklah ia mengajarinya Alquran.” Tidak pula memberikan pengalaman belajar yang
Maka, si Anak mengatakan, “Ketahuilah wahai berarti kepada anaknya.
Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak pernah Memberi nama atau gelar yang buruk kepada anak,
melakukan satu pun dari tiga hal tersebut. Ia tidak sama artinya dengan memberikannya pengalaman
memilih calon ibu yang baik bagiku. Ibuku adalah hidup yang meyakitkan. Sementara tidak mengajarkan
hamba sahaya jelek berkulit hitam yang dibelinya nilai-nilai seperti menghafal Al-Qur’an kepada mereka
dari pasar seharga dua dirham, lalu malamnya Ia gauli sama artinya tidak memberikan pengalaman belajar
sehingga hamil mengandungku. Setelah aku lahir untuk bekal hidup mereka kelak. Dua hal itu sudahlah
pun ayah menamaiku Ju’al (si hitam bermuka jelek), cukup menjadikan jiwa si anak kering kerontang lalu
dan Ia tidak pernah mengajariku menghafal Alquran menjadikannya durhaka. Na’udzubillah. [ABDUL]
edisi 43isi 43 75
ed